Posted by: psikotikafif | September 14, 2009

Imajinasi dan Pengetahuan

Koran Tempo, 13 September 2009imagination2

Afthonul Afif, Alumnus Psikologi Klinis Pascasarjana UGM Yogyakarta

Dalam perspektif awam, imajinasi masih sering diposisikan dalam arti peyoratifnya. Imajinasi dianggap serupa dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Salah persepsi ini berakibat pada masih kurang dipertimbangkannya imajinasi sebagai sumber pengetahuan yang sahih.

Orang sering mengajak kita untuk berpikir realistis ketika kita mengajukan gagasan yang muluk-muluk. Mereka tidak menyadari bahwa anjuran mereka –sebagaimana dikemukakan Allan Loy McGinnis dalam buku best seller-nya, The Power of Optimism (1993) sebenarnya bentuk kekhawatiran-kekhawatiran yang disembunyikan. “Worry is misuse of imagination” (kekhawatiran adalah imajinasi yang disalahgunakan). Kekhawatiran itu, oleh Kierkegaard dianggap sebagai sikap yang berlebihan dalam merespon bahaya, atau semacam sikap memandang rendah kemampuan kita.

Mengganggap imajinasi sejenis dengan khayalan, fantasi, atau ilusi, merupakan sikap yang gegabah. Istilah fantasi itu sendiri lebih berkaitan dengan daya membayangkan sesuatu hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi. Dengan demikian, fantasi sepadan dengan khayalan atau ilusi, terjemahan dari bahasa Inggris, illusion. Secara terminologis, ilusi berarti ide, keyakinan, atau kesan tentang sesuatu yang jelas-jelas keliru. Jika fantasi (daya yang menghasilkan khayalan) berhubungan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan, maka imajinasi merupakan daya yang menghasilkan gambaran objek yang bersifat mungkin atau logis. Imajinasi tidak terkait dengan penggambaran yang membabi buta tentang suatu objek atau konsep tertentu.

Dalam bahasa inggris, ada beberapa variasi kata untuk imajinasi, yaitu imagery, imaginary, dan imagine. Imagery merupakan bahasa figuratif untuk merujuk sebuah gambaran, objek, ide, dalam pikiran seseorang (pembaca atau pendengar), sehingga istilah ini sering digunakan oleh para penyair dalam karya-karyanya. Imagery sering diartikan sebagai perumpamaan/tamsil, meskipun ia memiliki arti yang lebih luas dari sekedar perumpamaan. Selanjutnya, imaginary dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai yang imajiner atau khayal; contohnya bilangan imajiner sebagai bilangan khayal. Sementara kata imagine (kata kerja) berarti membentuk suatu gambaran mental tentang sesuatu, atau memikirkan sesuatu sebagai bisa terjadi atau mungkin. Imagine adalah tindakan membayangkan, meskipun pada prakteknya terdapat perbedaan antara “membayangkan” dan “mengimajinasikan”.

“Membayangkan” mempunyai konotasi sebagai sesuatu yang lebih mudah dilakukan karena berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan “mengimajinasikan” itu merambah wilayah yang lebih luas sehingga tidak dapat direduksi sebagai sekedar membayangkan. Maka dari itu, imajinasi lebih tepat diartikan sebagai kekuatan potensial yang telah memberikan kontribusi berharga bagi lahirnya pengetahuan.

***

Perlu diketahui perbedaan antara berimajinasi dan berpikir (logis), lebih khusus terkait dengan proses lahirnya pengetahuan. Berpikir merupakan aktivitas mental untuk melahirkan atau memformulasikan pengetahuan dengan merujuk pada aturan berpikir atau konsep tertentu yang cenderung bersifat membatasi, bahkan mengikat. Misalnya anjuran berpikir lurus menurut logika identitas Aristotelian –di mana cara berpikir yang tidak mematuhi hukum logika tersebut dapat terjatuh dalam “sesat pikir” (the fallacy). Sementara dalam berimajinasi proses mental kita tidak lagi diikat oleh hukum berpikir atau konsep kebenaran tertentu, sehingga pikiran menjadi bebas untuk mencari wawasan pengetahuan baru.

Disadari atau tidak, peran imajinasi begitu besar dalam melahirkan teori-teori agung di bidang ilmu pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah kehabisan ide untuk memecahkan suatu permasalahan—karena logika telah menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, terkadang imajinasi bebas mereka justru yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan. Bahkan ilmuwan sekaliber Einstein mengatakan, ”imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”.

Peran imajinasi dalam proses penelusuran pengetahuan membawa banyak hal yang sering tak terduga. Meski berimajinasi tidak dibatasi oleh hukum berpikir dan konsep tertentu, namun proses mental tetap terarah pada citra atau imaji-imaji tertentu sebagai representasi dari persoalan yang sedang dibayangkan. Ketika Einstein menemukan rumus E=mc2 , dia tentu meng-imaji-kan variabel-variabel itu dalam pikirannya. Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, dia juga men-citra-kan sesuatu dalam benaknya. Dengan demikian, mengimajinasikan “imaji” merupakan proses yang melahirkan kedua teori tersebut.

Tentang kemampun melahirkan konsep dari imaji-imaji yang dicecap, ada sebuah konsep menarik yang diperkenalkan Sartre dalam bukunya L’imaginaire: Psychologie phenomenogique de l’imagination (1940), yaitu tentang “imajinasi kreatif”. Imajinasi kreatif ini terkait dengan kemampuan pikiran seseorang untuk merasakan apa yang disebut Kant “pengalaman estetik”. Ketika seseorang mampu menangkap makna dan menemukan seepisode cerita dalam sebuah lukisan, atau merasakan emosi dalam selantun lagu yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain, maka orang itu memiliki imajinasi kreatif. Dengan kata lain, tidaklah disebut imajinatif jika melihat makna dan cerita dalam sebuah lukisan yang juga bisa dilihat orang lain. Imajinasi kreatif ini disebut Sartre sebagai “tindakan menciptakan sebuah objek dalam ketiadaannya”.

***

Hans George Gadamer, dalam Philosophical Hermeneutics (1977) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang tumbuh dalam ruang sosial dan masa historis tertentu. Citra tentang manusia dan lingkungannya selalu dibentuk dan direkayasa dalam lembaran sejarah. Sehingga, tidaklah berlebihan jika Simone Weil menganggap bahwa imajinasi dan fiksi telah membentuk lebih dari tiga perempat kehidupan nyata manusia.

Pernyataan di atas hendak menegaskan bahwa pengetahuan yang kita peroleh sebenarnya lahir dari imaji-imaji tentang segala hal yang telah kita cecap, entah ia merujuk pada objek yang real ataupun yang imajiner. Imaji-imaji yang memenuhi ruang mental kita itu menjadi semacam penyedia bahan baku bagi kegiatan merumuskan pengetahuan.

Dalam konteks ini, antara imajinasi dan rasio sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi intelek, imajinasi berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya, imajinasi mampu membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang dan presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio membuat kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.

Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre). Jika di ranah saintifik antara imajinasi dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat berbeda.

Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan “ketidaktersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.

Posted by: psikotikafif | July 26, 2009

Tallase Kamase-Mase dan Spirit Pelestarian Hutan

ilustrasi kamase mase

Praktek hidup Suku Kajang atau yang juga disebut masyarakat adat Ammatoa dalam melestarikan kawasan hutannya dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam kegiatan pelestarian lingkungan. Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi.

Secara geografis dan administratif, Masyarakat Adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam.

Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan patuntung. Istilah patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari sumber kebenaran” (to inquiri into or to investigate the truth). Ajaran patuntung mengajarkan manusia untuk menyandarkan hidupnya pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan nenek moyang

Turiek Akrakna menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggarnya, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan.

Melalui pasang, masyarakat Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan), pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur mereka. Merawat hutan, bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat menyejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak dijaga kelestariannya.

Berbicara tentang kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, terdapat sebuah prinsip hidup yang disebut tallase kamase-mase, bagian dari pasang yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna.

Prinsip tallase kamase-mase juga berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan maupun dalam kebutuhan berpakaian. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya, sebagaimana tercermin dalam bunyi pasang berikut: Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga (Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan).

Pasang di atas mengajarkan nilai kebersahajaan bagi seluruh warga masyarakat Kajang. Hal ini dapat dipandang sebagai filosofi hidup mereka yang menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya. Manusia hanyalah salah satu komponen dari makrokosmos yang selalu tergantung dengan komponen lainnya. Untuk itu, dalam berinteraksi dengan komponen makrokosmos lainnya, manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena akan merusak keseimbangan yang telah tertata secara alami.

Masyarakat Adat Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsip tallase kamase-mase ini. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup sehari-hari, misalnya dalam membangun rumah. Masyarakat Ammatoa memiliki bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu dimaksudkan agar tidak terjadi saling iri di antara mereka, yang dapat berakibat pada keinginan memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.

Rumah juga tidak boleh dibangun dengan menggunakan batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat yang boleh diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun  penghuninya masih hidup, secara prinsip mereka dianggap mati karena sudah dikelilingi oleh tanah. Namun, apabila diperhatikan lebih jauh, sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada hutan agar sumber daya yang dimilikinya tidak dieksploitasi secara berlebihan.

Kesederhanaan itu juga tercermin dari cara mereka berpakaian. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung) adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek Akrakna. Kesamaan bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga dalam menyikapi keadaan lingkungan, terutama kawasan hutan mereka, sehingga tidak memungkinkan memikirkan memperoleh sesuatu yang berlebih dari dalam hutan mereka. Dengan demikian hutan akan tetap terjaga kelestariannya.

Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Masyarakat Adat bukanlah masyarakat yang memburu kemakmuran material, namun berorientasi pada kehidupan abadi di akhirat. Bagi mereka, tanah bukan untuk dieksploitasi demi materi, melainkan sekedar sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup secukupnya.  Dengan prinsip tallase kamasa-mase ini, Masyarakat Adat Kajang berharap dapat mengekang hawa nafsunya, selalu bersikap jujur, tegas, sabar, rendah hati, tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dan tidak memuja materi secara berlebihan.

Afthonul Afif, Peneliti Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

Posted by: psikotikafif | July 26, 2009

Sebuah Tawaran untuk Krisis Demokrasi

Ruang Baca Edisi 26 Juli 2009

U L A S A N

Demokrasi Deliberatif

Judul: Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas
Penulis: F. Budi Hardiman
Penerbit: Kanisius
Edisi: I, 2009
Tebal: 246 hlm.

Sampai hari ini, krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Bahkan, indikator-indikatornya terlihat semakin jelas, seperti krisis ekonomi yang berkepanjangan, jumlah pengangguran yang semakin tinggi, penegakan hukum yang masih tebang pilih, juga perilaku para elite politik yang semakin tak peka terhadap harapan konstituennya.

Kondisi di atas tidak semata-mata dapat dipahami sebagai raibnya kehendak baik dari pemimpin negeri ini untuk menyelesaikan segala permasalahan di atas. Namun, secara mendasar, Indonesia belum sepenuhnya mampu mengoperasionalkan tuntutan-tuntutan demokrasi dalam konteks kebutuhan Indonesia.

Dari diagnosis yang dilakukan penulis buku ini, akar persoalannya terletak pada tidak memadainya praktek demokrasi yang berlangsung di Indonesia, yaitu demokrasi bercorak klasik ala Rousseau yang menempatkan negara dalam posisi dominan di antara elemen-elemen demokrasi lainnya.

Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia, peran negara yang gigantis itu pernah dipraktekkan oleh Soekarno melalui obsesi politik “demokrasi terpimpin” (guided democracy) dan oleh Soeharto telah diterjemahkan melalui slogan politik “demokrasi Pancasila”. Implikasi serius dari diterapkannya demokrasi ala Rousseau adalah kekuasaan negara yang seolah-olah tanpa batas.

Peran dominan negara atas rakyatnya bisa dilihat dari bagaimana negara melahirkan kebijakan-kebijakan publik. Meskipun secara eksplisit Indonesia bukanlah penganut ideologi liberal, keberpihakan negara terhadap kepentingan kelas pemodal daripada rakyatnya sendiri terlihat jelas. Di hadapan pemilik modal, posisi negara begitu minimalis, sementara di hadapan rakyatnya sendiri tampil begitu maksimalis. Negara menjadi absah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyatnya dengan tujuan agar kekuasaan tetap dalam kondisi stabil.

Untuk keluar dari kubangan keterpurukan ini, bangsa Indonesia membutuhkan solusi komprehensif yang berdampak sampai ke tingkat kehidupan masyarakat yang paling mendasar. Dengan kata lain, perhatian terhadap ruang partisipasi dan distribusi kesejahteraan bagi seluruh elemen demokrasi di Indonesia harus diupayakan terus-menerus.

Melalui landasan pijak filsafat politik, Budi Hardiman, salah seorang pakar filsafat politik terkemuka Indonesia, berusaha menceburkan diri ke arena sumbang saran untuk merespons patologi-patologi demokrasi dengan menggunakan pisau bedah Teori Diskursus-nya Jurghen Habermas.

Kontribusi signifikan Habermas terhadap kajian filsafat politik adalah konsepnya tentang “demokrasi deliberatif”. Istilah “deliberatif” berasal dari kata latin deliberatio yang dalam bahasa Inggris menjadi deliberation. Istilah ini berarti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau dalam kosakata yang akrab di telinga kita “musyawarah”. Dengan demikian, kata demokrasi yang dilekatkan di depannya dalam teori diskursus dapat dipahami sebagai upaya menciptakan diskursus politik berbasis proses sumbang-saran antarelemen demokrasi dalam ruang publik yang menjamin kesetaraan peran (hlm.128).

Dalam konteks politik praktis, istilah “demokrasi deliberatif” dapat dipahami sebagai suatu upaya politis untuk menciptakan saluran komunikasi antara, di satu pihak, proses legal formal pengambilan keputusan dalam parlemen serta badan-badan eksekutif pemerintahan dan, di lain pihak, proses penyampaian aspirasi sosial nonformal dalam masyarakat sipil. Misalnya, dalam proses melahirkan ketetapan hukum, Habermas mengatakan bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan atau kehendak umum yang menjadi pusat legitimasi dari hukum itu sendiri, melainkan proses pembentukan keputusan hukum ataupun politis yang selalu terbuka terhadap setiap tatapan publik yang kritis dan argumentatiflah yang menjadi sumber legitimasi hukum itu.

Habermas menawarkan revolusi komunikasi untuk menciptakan suasana diskursif sehingga diharapkan diskursus politik mengenai kepentingan publik benar-benar lahir dari momen partisipasi semua elemen demokrasi. Negara dalam konteks ini hanyalah salah satu elemen demokrasi, berdampingan dengan gerakan-gerakan sipil, seperti lembaga swadaya masyarakat, universitas, dan gerakan mahasiswa, sebagai elemen demokrasi lainnya.

Diskursus politis yang lahir dari komunikasi bebas paksaan selanjutnya akan melahirkan ruang publik politis. Untuk memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan ruang publik politis ini, berikut akan disampaikan pernyataan langsung Habermas sebagaimana dikutip penulisnya: ruang publik politis tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warga negara dapat berlangsung (hlm. 134).

Ruang publik politis itu memungkinkan para warga negara untuk menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu –sebagai kondisi-kondisi komunikasi –bukanlah institusi dan juga organisasi dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat. Ia adalah momen politis atau keadaan yang dapat diakses oleh semua orang –ruang otonom yang berbeda dengan negara dan pasar. Dalam kerangka ruang publik inilah, Habermas membayangkan adanya proses komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain, yaitu uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar tercapai sebuah keseimbangan.

Dalam situasi politik yang semakin menjauh dari pertimbangan-pertimbangan prosedur moral yang konsisten, pemikiran Habermas ini terlihat sangat radikal. Dia berani membayangkan bahwa praksis politis bukanlah sekedar persoalan menegosiasikan kepentingan, tetapi juga persoalan bagaimana menciptakan prosedur normatif agar praksis politik memiliki pedoman. Persis dalam konteks ini pemikiran Habermas sering disalahpahami dan menuai banyak kritik lantaran terlalu terobsesi pada prosedur dan mengabaikan kondisi real kehidupan politik beserta kompleksitas proses di dalamnya.

Namun, semuanya itu menjadi terlihat masuk akal dan tidak mustahil dipraktekkan ketika melihat kecermatan dan kejernihan Budi Hardiman dalam menyajikan detail-detail teori diskursus Habermas. Dilihat secara normatif maupun situasional, buku ini hadir tepat waktu, mengingat sampai hari ini di Indonesia masih jamak dijumpai kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil dengan cara mengisolasi warga. Wacana tentang demokrasi deliberatif dengan demikian seharusnya tidak hanya berhenti menjadi perdebatan diskursif semata, tapi juga mampu menjiwai proses pengambilan kebijakan, agar setiap kebijakan yang dihasilkan di dalamnya mengandung nilai-nilai kepublikan.

Alasan lain mengapa demokrasi deliberatif begitu relevan bagi masyarakat Indonesia adalah fakta yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri atas beragam suku, agama, ras, adat-istiadat, dan pola pikir, sehingga kedaulatan rakyat dalam hal ini tidak dapat direduksi melalui lembaga-lembaga perwakilan semata. Kedaulatan rakyat saat ini harus dilihat dari sudut pandang baru, yaitu sebagai bentuk komunikasi rasional dalam diskursus publik, baik dalam sistem politik maupun dalam ruang masyarakat sipil yang luas.

  • Afthonul Afif, peneliti sosial, tinggal di Yogyakarta.
  • Posted by: psikotikafif | June 29, 2009

    Yang Terbungkam di Balik Konflik Poso

    Ruang Baca Edisi 26 Juni 2009

    U L A S A N


    Judul: Konflik Poso: Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan

    Penulis: Lian Gogali

    Cetakan: I, 2009

    Tebal: 208 hlm.

    Penerbit: Galang Press, Yogyakarta


    Banyak kalangan menganggap konflik Poso sebagai konflik horizontal antaragama. Benarkah demikian? Jika ditelusuri lebih jauh, konflik itu tidaklah sesederhana anggapan ini, karena secara faktual ia melibatkan persaingan antaretnik, baik lokal maupun pendatang, ditambah lagi dengan kepentingan politik sipil maupun militer, juga masuknya kekuatan luar seperti laskar jihad maupun satuansatuan TNI dan Polri yang bertugas saat konflik terjadi.

    Secara historis, konflik Poso lebih dipicu oleh kesenjangan politik pemerintahan dan sosial ekonomi. Beralihnya tampuk kekuasaan di kawasan Poso dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia melahirkan konsekuensi nyata, yaitu bergesernya kepemimpinan politik dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang (Jawa, Bali, Makasar, dan Bugis). Bergesernya penguasaan atas sumber daya politik ke tangan etnis pendatang dapat dilihat dari proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat, yang banyak ditentukan oleh etnis pendatang.

    Bergesernya kekuasaan politik juga berimplikasi pada kegiatan ekonomi di Poso, dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) yang banyak dihuni etnis pendatang. Ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan selalu diiringi dengan bergesernya pusatpusat perekonomian dan perdagangan yang mengikuti pusatpusat pemerintahan itu. Dengan demikian, telah terjadi akumulasi kegiatan politik dan ekonomi di pusat pemerintahan baru, di mana mayoritas pendatang yang muslim menjadi pihak yang dominan.

    Kesenjangan kehidupan politik dan ekonomi yang berkepanjangan itulah yang oleh Gerry van Kliken, peneliti dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Belanda dianggap sebagai pemicu konflik Poso. Pendapat Kliken ini hendak meluruskan pemahaman yang selama ini keliru, bahwa sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa konflik Poso dipicu oleh perkelahian dua kelompok pemuda yang beda agama. Konflik dua kelompok pemuda itu menjadi indikasi bahwa potensi konflik sebenarnya sudah tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Poso. Insiden seharihari yang semestinya bisa diselesaikan secara damai itu kemudian berujung pada munculnya konflik antarkelompok yang berlangsung masif.

    Konflik Poso meletus sejak 1998 dan dinyatakan reda pada 2003. Konflik ini telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan lebih dari 5.000 rumah hangus. Sekarang, konflik Poso barangkali sudah dianggap selesai. Namun, sebagai sebuah tragedi kemanusiaan, konflik ini belum bisa dikatakan sepenuhnya tuntas.

    Sejak konflik meletus, kehidupan masyarakat Poso berubah drastis. Masyarakat Poso, dari berbagai lapisan sosial, jenis kelamin, dan jenjang usia terseret masuk ke dalam pusaran konflik berdarah yang memilukan. Hampir semua penduduk Poso dipaksa terlibat konflik, dari yang sekadar bertahan hingga menyerang dengan alasan mempertahankan diri. Belum lagi mereka harus menanggung ketidakpastian hidup pascakonflik akibat luluhlantaknya saranasarana vital penyangga kehidupan.

    Jika kita semua bersedia jujur dan melihat kondisi sebenarnya pascakonflik, tidak ada pihak yang paling dirugikan dari konflik ini melebihi kerugian yang ditanggung oleh kaum perempuan dan anakanak. Sayangnya, tulisantulisan yang dihasilkan untuk menjelaskan konflik ini masih sangat sedikit yang berpihak kepada kepentingan dua kelompok itu. Hampir semua narasi tulisan milik kaum “lakilaki” dewasa. Sedikit sekali ruang artikulasi bagi perempuan dan anakanak.

    Sistem sosial dan budaya telah menyingkirkan mereka untuk ikut bersuara. Keterbatasan mereka terhadap penguasaan atas saranasarana vital kehidupan membuat mereka terkondisikan untuk menggantungkan hidup pada pihak lain. Dalam kondisi serba tak menentu, tak sedikit perempuan Poso merelakan diri untuk menjalin hubungan gelap dengan para prajurit TNI dengan harapan kelak dapat dinikahi untuk mendapatkan nasib yang lebih baik. Jadi, tidak mengherankan ketika di Poso saat ini kita menjumpai banyak perempuan muda yang memiliki anak di luar ikatan perkawinan lantaran sosok lakilaki yang dipercaya dapat mengubah nasib mereka telah ingkar janji.

    Yang tak kalah mengenaskannya adalah kondisi anakanak Poso korban konflik yang harus menanggung penderitaan di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya, karena banyak orang tua yang seharusnya melindungi mereka telah meninggal menjadi korban konflik yang memilukan itu. Masamasa indah untuk bermain dengan teman sebaya dan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak juga terampas.

    Belum lagi minimnya pusatpusat rehabilitasi untuk trauma psikologis yang keberadaannya sangat dibutuhkan anakanak korban konflik. Penangananpenanganan psikologis yang sekarang ini dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat maupun lembagalembaga pemerintah belum banyak memecahkan persoalan, karena memang kehadirannya dapat dikatakan terlambat. Peristiwaperistiwa kekerasan saat konflik berlangsung sudah telanjur menawan kesadaran anakanak Poso, menyesaki memori mereka, sehingga dorongan untuk membayangkan hari depan yang lebih baik nyaris tidak ada lagi.

    Dengan demikian, membicarakan kekerasan dalam sudut pandang perempuan dan anakanak korban konflik merupakan upaya untuk menyingkap narasi kesenyapan yang mereka alami. Dengan menggunakan kerangka berpikir fenomenologi untuk melihat nasib pihak “yang dilainkan”, buku ini berupaya mengalirkan semangat itu, menyuarakan kembali suarasuara lirih para korban, sehingga kejadiankejadian seharihari yang paling memilukan itu dapat diketahui oleh publik.

    Penulis menelusuri aspek tragis konflik Poso lewat ingataningatan dan kisahkisah yang ada dalam kelompok perempuan dan anakanak. Dalam catatan pengantarnya, St. Sunardi mengatakan bahwa ingataningatan dan kisahkisah itu bisa disebut tragis karena dua alasan. Pertama, berbagai ingatan dan kisah lahir dari peristiwaperistiwa yang tidak bisa dibayangkan kembali. Kekerasan berupa pelecehan seksual yang dilakukan oleh aparat keamanan dan perjuangan hidup selama pelarian di hutan, misalnya, berada di luar kemampuan korban untuk menanggungnya. Kedua, pengalaman itu telah membekas dalam ingatan dan selalu muncul kembali sampai sekarang. Dalam sebuah sesi pendampingan yang dilakukan penulis, banyak anakanak Poso masih menunjukkan ekspresi trauma yang mendalam. Hal ini terlihat pada gambargambar yang dibuat oleh anakanak Poso, yang memunculkan tematema seputar kekerasan, seperti rumah terbakar, pembunuhan, senjata, dan sebagainya. Dengan demikian, penderitaan yang dialami para korban tidak berhenti saat berbagai pihak tidak lagi terlibat dalam konflik terbuka (hlm. 910).

    Kehadiran buku ini diharapkan dapat membantu semua pihak yang terlibat dalam pemulihan masyarakat pascakonflik. Hal ini terlihat pada fokus penulisnya yang berbasis pada kepentingan korban, sebuah perspektif yang berusaha memecah dominasi kebijakan program pemulihan masyarakat pascakonflik yang berbasis pada pendekatan politis dan fisik semata.

    Lebih dari sekedar pemetaan tentang wacana konflik, fokus utama buku ini adalah menyajikan pengalaman dan harapan korban, perempuan dan anakanak, dalam bentuk narasinarasi lirih hasil konstruksi para korban. Narasi perempuan korban konflik yang dipaparkan dalam buku ini memuat pengalamanpengalaman personal perempuan yang merangkum tematema seputar pelecehan seksual, menjadi orang tua tunggal dari anak hasil kumpul kebo dengan aparat keamanan, hingga menjadi kepala rumah tangga karena suami terbunuh saat konflik. Sama serius dan pentingnya, pada kasus anakanak korban konflik yang kehilangan haknya atas pendidikan, makanan bergizi, dan kesempatan bermain. Ini adalah pengalaman eksistensial manusia, yang masih dianggap sebagai tempelan saja dalam kebijakankebijakan pemulihan berbasis politik.

    Secara garis besar, buku hasil penulisan ulang tesis penulisnya ini berusaha mengusung tiga misi utama guna mendobrak wacana dominan milik kaum lakilaki dan pihak pemenang. Pertama, menempatkan perempuan sebagai pelaku, aktor dari konflik Poso dengan angkat senjata, menjadi kepala keluarga, hingga menjadi mediator rekonsiliasi sehingga mereka bukan sekedar pecundang. Kedua, mendobrak historiografi para pemenang yang mengabaikan peran perasaan, dan peran para korban. Dan ketiga, mendobrak penggambaran sejarah konflik Poso dengan mengangkat wacana tertindas dari perempuan dan anakanak.

    Afthonul Afif, peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu

    Posted by: psikotikafif | June 15, 2009

    Masa Depan dan Emosi

    futureKoran Tempo, 14 Juni 2009

    Afthonul Afif, Alumnus Pascasarjana Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada

    Daniel Gilbert, psikolog kenamaan Amerika, penulis buku best-seller dunia, Stumbling on Happiness (2006), mengatakan bahwa prestasi terbesar yang pernah diciptakan otak manusia bukanlah Piramida Agung di Giza, Borobudur, Stasiun Ruang Angkasa Internasional, atau Jembatan Golden Gate, dan masih banyak lainnya, melainkan kemampuannya dalam membayangkan masa depan.

    Ya, prestasi terbesar otak manusia adalah kemampuannya membayangkan benda-benda, kejadian-kejadian yang belum pernah ada di dunia nyata, dan kemampuan inilah yang memungkinkan kita berpikir tentang masa mendatang. Daniel Dennet, filsuf evolusionis nomor wahid, mengatakan bahwa otak manusia adalah sebuah “mesin antisipasi”, dan menciptakan masa depan adalah prestasinya yang paling monumental. Namun, perlu diketahui bahwa kemampuan membayangkan masa depan itu lebih dari sekadar kemampuan memprediksi (predicting), tetapi yang lebih penting adalah kemampuan menciptakan kemungkinan-kemungkinan di masa depan (nexting).

    Bagi generasi yang hidup pada 1930-an, membayangkan manusia mampu mendaratkan kakinya di bulan adalah gagasan yang konyol. Tapi, kita yang sebaliknya akan dianggap betul-betul konyol jika sekarang ini kita masih ragu terhadap kenyataan tersebut, karena berkat kemampuan otak dalam membayangkan masa depan, para ilmuwan avant-garde berhasil mewujudkannya gagasan yang nyaris dianggap mimpi itu. Kita juga mungkin masih ingat kepada sang jenius Renaissance, Leonardo da Vinci, yang salah satu sketsanya tentang alat transportasi masa depan menyerupai helikopter telah membuat orang-orang semasanya termangu. Kemampuan nexting Da Vinci jauh melampaui kemampuan kebanyakan manusia semasanya. Dia seolah-olah mampu memprediksi bahwa kelak akan menyingsing sebuah abad dirgantara. Mimpi Da Vinci berujung kenyataan, meskipun dia harus menunggu selama berabad-abad lamanya.

    Kemampuan membayangkan itu khas manusia. Secara neurologis, kemampuan ini ditopang oleh aktivitas saraf di area lobus frontalis, otak bagian depan yang menopang kegiatan kognitif tingkat tinggi: menalar, merencanakan, mengabstraksikan, dan membayangkan. Meskipun tak sedikit hewan yang memiliki area lobus frontalis di otaknya, pada kenyataannya hanya lobus frontalis manusialah yang secara evolutif mampu berkembang dengan maksimal sehingga mampu menopang aktivitas kognitif tingkat tinggi. Fakta ini oleh Gilbert kemudian dijadikan sebagai penguat tesisnya bahwa kemampuan “membayangkan” (nexting) dimiliki oleh semua orang dengan kondisi otak dalam keadaan normal. Bahkan kemampuan ini sudah menjadi kebutuhan manusia itu sendiri.

    Mengapa otak kita begitu keras kepala ketika diminta tidak lagi membayangkan masa depan, karena hal yang perlu dipikirkan saat ini begitu banyak?

    Jawabannya sederhana, karena berpikir tentang masa depan dapat menimbulkan kepuasan. Secara instingtif, manusia selalu membayangkan hal-hal yang menyenangkan daripada hal-hal yang menyusahkan atau mengalami kegagalan. Berpikir tentang masa depan bisa begitu menyenangkan sampai kadang-kadang kita lebih suka melamunkannya daripada berusaha mewujudkannya. Penelitian yang dilakukan Oettingen dan Mayer, yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology, 83: 1198-1212 (2002), dengan judul “The Motivating Function of Thinking About the Future: Expectations Versus Fantasies”, telah membuktikan asumsi tersebut. Sejumlah relawan diminta membayangkan diri mereka berkencan dengan seseorang yang pernah bermasalah besar dengan mereka. Mereka yang memiliki fantasi paling rumit, paling dahsyat, tentang pendekatan yang membuat mereka berdebar-debar ternyata paling tidak mungkin melakukannya dalam beberapa bulan berikutnya.

    Tentu, fenomena di atas hanyalah satu kemungkinan dari sekian kemungkinan kegiatan nexting. Persoalan utamanya sebenarnya bukan terletak pada apakah proses pembayangan itu kelak akan benar-benar terwujud atau kita sudah merasa cukup puas dengan hanya membayangkannya, tetapi yang pasti kegiatan tersebut dapat menimbulkan perasaan bahagia. Otak manusia akan bereaksi secara sama terhadap emosi-emosi positif yang terjadi, baik yang diberi stimuli oleh kejadian nyata maupun dari kegiatan pembayangan saja. Hal ini mengindikasikan bahwa secara evolutif manusia akan merasa lebih nyaman dalam menghadapi situasi ketidakpastian di masa depan dengan melakukan nexting.

    Tapi kita hendaknya berhati-hati jika sesuatu yang kita bayangkan itu bersumber dari persoalan yang benar-benar kita kehendaki, dan kita yakini dapat mengubah kehidupan kita di masa mendatang. Kebanyakan di antara kita memiliki pengalaman jauh lebih banyak untuk membayangkan kejadian-kejadian yang menyenangkan ketimbang kejadian-kejadian menyedihkan. Kita pun cenderung memberi penilaian berlebihan terhadap kemungkinan bahwa peristiwa menyenangkan itu sungguh terjadi. Bagaimana seandainya peristiwa tersebut tidak terjadi?

    Meskipun secara instingtif membayangkan kejadian membahagiakan di masa depan menimbulkan perasaan nyaman, ketika kegiatan ini disertai dengan sekian ekspektasi ia akan berubah menjadi sebaliknya jika tidak benar-benar terjadi. Mengapa angka bunuh diri di kalangan anak muda Amerika cukup tinggi? Kausalitas sederhana menjelaskan bahwa mereka menyimpan banyak sekali harapan: menikah lebih lama, memiliki anak berbakat, panjang umur, karier cemerlang, gaji besar, dan bertamasya ke Eropa lebih banyak dibanding orang lain. Harapan-harapan yang pada awalnya memicu perasaan bahagia dan optimistis itu tiba-tiba berubah menjadi frustrasi berkepanjangan—sering kali diikuti dengan bunuh diri–ketika ia tak terwujud dalam kenyataan (Weinstein, “Unrealistic Optimism About Future Life Events”, Journal of Personality and Social Psychology, 39: 806-820 (1980)).

    Lantas sikap mental seperti apa yang mestinya kita tempuh agar kita tetap mampu merasakan kebahagiaan atas kegiatan nexting kita sekaligus mampu mengatasi rasa frustrasi ketika membayangkan apa yang kita kehendaki tidak terjadi, atau bahkan di masa depan ia memang benar-benar tidak terjadi?

    Kita harus memiliki kendali yang sehat atas sesuatu yang kita bayangkan. Artinya, kita mencoba mengetahui sesuatu yang tidak mustahil akan terjadi dan kita dapat berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Kita akan merasakan kepuasan ketika memegang kendali–tidak hanya kita menjadi lebih yakin bahwa kita berkuasa atas masa depan itu, tetapi juga karena kita telah melakukan sesuatu untuk memegang kendali itu. Membayangkan sesuatu, mempengaruhinya, membuat sesuatu terjadi, adalah salah satu kebutuhan mendasar kita yang hadir secara alami melalui otak yang kita miliki. Sejak bayi hingga dewasa, kita telah terbiasa berjuang mengatasi ketidakpastian di sekitar kita, dari menangis untuk mengikat perhatian orang-orang sekitar sampai membuat perencanaan dan prediksi yang matang.

    Aku menyukai mimpi-mimpi masa depan daripada sejarah masa lalu.
    — Thomas Jefferson

    • Mantan Presiden Amerika (1743-1826)

    Kejarlah ia sekarang. Masa depan menjanjikan kepada tak seorang pun.
    — Wayne Dyer

    • Psikolog Amerika

    Jangan berkutat pada masa lalu, jangan memimpikan masa depan, konsentrasikan pikiran pada momentum kekinian.
    — Buddha

    Aku tak pernah memikirkan masa depan; ia datang begitu cepat.
    — Albert Einstein

    • Fisikawan peraih Nobel (1879-1955)

    Cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya.
    — Peter F. Drucker

    • Guru bisnis (1909-2005)

    Masyarakat kelas atas adalah masa lalu bangsa; kelas menengah adalah masa depannya.
    Ayn Rand

    • Penulis Russia (1905-1982)
    Posted by: psikotikafif | May 18, 2009

    Kritik Terhadap Kognitivisme Sosial

    brainKoran Tempo, Minggu 17 Mei 2009

    Afthonul Afif, Alumnus Psikologi Program Pascasarjanan UGM Yogyakarta.

    Psikologi sebagai sebuah disiplin dalam rumpun ilmu-ilmu sosial secara umum dapat diposisikan secara berbeda. Satu faktor pembeda yang segera dapat dilihat adalah mengenai kecenderungan menentukan unit analisisnya. Psikologi cenderung memilih individu sebagai unit analisisnya, berbeda dengan sosiologi dan antropologi, misalnya, yang memilih masyarakat sebagai unit analisisnya.

    Psikologi juga terobsesi merumuskan fenomena humanitas menjadi fakta-fakta yang tersusun presisi berdasarkan pembuktian yang sedapat mungkin bersifat nir-spekulasi. Merumuskan pengetahuan dan teori dalam tradisi psikologi mainstream dengan demikian merupakan upaya untuk mencari kesesuaian antara logika dan fakta, atau semacam ketundukan di depan kaidah relasionalisme: ada kesesuaian antara proses-proses kognitif dengan realitas empirik.

    Dalam praktek keilmuan, kecenderungan di atas melahirkan apa yang disebut sebagai kognitivisme, atau keyakinan bahwa setiap realitas sosial dapat dijelaskan melalui proses-proses kognitif. Gejala ini masih dominan dalam pengembangan ilmu psikologi sampai sekarang, terutama dalam kajian psikologi sosial. Dengan menggunakan metode eksperimental, setiap penelitian psikologi ditujukan untuk mengidentifikasi proses kognitif universal yang mendasari perilaku sosial. Kecenderungan ini lahir dari asumsi bahwa individu adalah agen otonom yang memiliki karakteristik-karakteristik khusus. Individu merupakan agen yang berbeda dengan masyarakat dan terpisah dari dunia sosial.

    Dunia sosial dianggap sebagai gugusan peristiwa yang menyediakan informasi untuk diproses dan dipahami sehingga pengetahuan atasnya tertanam kuat dalam struktur kognitif manusia. Premis utama kognitivisme kira-kira berbunyi seperti ini: individu mengelola informasi mengenai dunia dengan menggunakan proses kognitif dan mengupayakan kategorisasi terhadap dunia dengan cara-cara tertentu. “Teori Konsistensi” dapat dianggap sebagai representasi dari gejala ini. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap individu selalu berusaha untuk mempertahankan konsistensi dalam berpikir. Jika individu menganggap realitas sosial di sekelilingnya bersifat mengganggu stabilitas kognisinya, maka ia akan berpikir bahwa ada yang salah dalam caranya mempersepsi realitas sosial itu. Skema kognitifnya harus diubah agar dapat menyesuaikan dengan realitas sosial yang ada.

    Jika seorang buruh, misalnya, merasa tidak nyaman karena upah yang diterimanya belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka dia akan menempuh strategi-strategi berpikir tertentu agar kehidupannya tetap dipersepsi secara nyaman. Misalnya, dia menganggap bahwa dirinya belum cukup profesional, kurang bekerja keras, dan sebagainya. Paradigma kognitivisme mengabaikan realitas sosial sebagai sesuatu yang terbentuk melalui proses komunikasi dan negosiasi. Ia menganggap realitas sosial sebagai wilayah netral, yang apapun bentuk pemahaman terhadapnya semata-mata ditentukan oleh proses kognitif dalam diri individu.

    Keterisolasian individu dari dunia sosialnya ini mendapat perhatian serius dari para konstruksionis sosial, yang selanjutnya mengembangkan perspektif kritis yang disebut “psikologi kewacanaan”. Psikologi kewacanaan mengasumsikan bahwa cara kita memahami dunia tidaklah bersifat universal, melainkan berproses mengikuti gejala-gejala sosial dan historis yang bersifat situasional, sehingga kebenaran merupakan persoalan kemungkinan sebagai hasil dari komunikasi dan negosiasi dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, perilaku sosial bukanlah fungsi dari aktivitas kognitif yang merespon gejala sosial, tetapi ia adalah gejala yang lahir dari aktivitas-aktivitas sosial. Dengan apik  Potter membuat analogi bahwa perilaku sosial bukanlah sekedar entitas yang menyebar di otak ibarat buah kismis yang melekat pada punggung roti (Potter, 1996: 135).

    Persoalan mendasar yang diperkarakan psikologi kewacanaan akibat dominannya paradigma kognitivisme dalam kajian psikologi tidak hanya terletak pada kesangsian atas asumsi-asumsi teoritik universal yang ditawarkan kognitivisme, tetapi juga kekhawatiran yang beralasan mengenai implikasi-implikasi praktis yang ditimbulkannya. Sebut saja bagaimana kognitivisme melihat munculnya stereotip dan konflik sosial. Di ranah ini, Teori Identitas Sosial merupakan perangkat paling representatif yang sanggup menjelaskan kedua hal itu dalam terang kognitivisme sosial.

    Dua proses utama yang membentuk identitas sosial individu adalah melalui kategorisasi diri dan perbandingan sosial. Ketika individu menjadi bagian dari kelompok sosial, dia mulai mengidentifikasi dirinya berdasarkan identitas kelompok itu. Dalam proses kategorisasi diri dan perbandingan sosial selalu disertai dengan aktivitas kognitif yang mengarahkan individu untuk membagi kelompok sosial ke dalam dua kutub yang berlawanan, antara in-group dengan out-group. In-group selalu dipersepsi positif, sementara out-group selalu dipersepsi negatif. Teori ini mengasumsikan bahwa gejala pembentukan identitas sosial setiap individu mengikuti pola yang seragam dan kondisi ini berlaku secara universal.

    Gugatan atas implikasi buruk akibat asumsi teoritik di atas dilayangkan oleh Jonathan Potter dan Margareth Wetherel, dua tokoh yang merintis kajian psikologi kewacanaan. Mereka meyakini bahwa lahirnya rasisme dan etnosentrisme disebabkan oleh cara mempersepsi kelompok lain sebagai lebih rendah dibanding kelompok sendiri. Mereka menuduh bahwa Teori Identitas Sosial telah memperpanjang dan memperbesar kemungkinan terjadinya konflik sosial, karena ia berasumsi ada proses psikologis universal yang menjamin konflik sosial seolah-olah telah menjadi keniscayaan (Jorgenshen & Philips, 2007: 183).

    Berangkat dari kritik di atas, psikologi kewacanaan menawarkan perspektif yang diharapkan dapat mengatasi klaim-klaim teoritik yang melihat interaksi sosial sebagai peristiwa yang terukur dan permanen. Psikologi kewacanaan menolak usaha kognitivisme sosial dalam menjelaskan perilaku berdasarkan proses mental dasar. Psikologi kewacanaan menempuh cara pemahaman atas realitas sosial bukan sebagai wilayah transparan “di luar sana”, melainkan sebagai produk dari interaksi sosial yang syarat dengan nilai-nilai kultural dan imajinasi historis tertentu. Dengan demikian, tidak ada kemungkinan kebenaran di luar wacana, dan tidak ada medium pengungkapan paling potensial selain bahasa. Wacana adalah produk penggunaan bahasa—atau bentuk dinamis percakapan dan praktek sosial yang selanjutnya membentuk dunia sosial, identitas, dan individu.

    Psikologi kewacanaan menganggap bahwa realitas sosial selalu dalam kondisi “menjadi”, tak sepenuhnya dapat dipahami batas-batasnya—selain dalam koridor kewacanaan. Realitas sosial—meminjam istilah Rorty—yang di dalamnya dikontestasikan berbagai material-material kewacanaan, tak lebih dari semacam kosa kata akhir yang lahir dari kesepakatan-kesepakatan temporer dalam interaksi sosial. Wacana juga bukanlah ekspresi keadaan psikologis yang telah tersusun sebelumnya, melainkan sebaliknya, bahwa realitas psikologislah yang tersusun dari aktivitas kewacanaan. Dengan demikian, setiap individu berpeluang memiliki beberapa identitas fleksibel yang terbentuk melalui wacana-wacana yang dipertukarkan.

    Posted by: psikotikafif | May 18, 2009

    Bila Cinta Meneguhkan Eksistensi

    oveKompas, Sabtu 16 Mei 2009

    Afthonul Afif, Master Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

    Lahirnya Psikologi Positif sebagai mazhab baru dalam kajian psikologi memberikan harapan tentang sebuah masa depan kemanusiaan yang lebih baik. Asumsi ini tentu tidak mengada-ada. Sejak didaulat sebagai gerakan baru, bersamaan dengan dilantiknya Martin Selligman sebagai Presiden American Psychological Association pada tahun 1997, gerakan psikologi positif menawarkan ontologi baru dalam melihat manusia: manusia yang mampu bertumbuh, bukan manusia pesakitan sebagaimana diasumsikan psikoanalisis dan behaviorisme.

    Tidak sulit untuk bersepakat bahwa setiap potensi positif dalam diri manusia hampir selalu mensyaratkan adanya cinta di dalamnya. Sebab, dalam cinta selalu ada intensi, energi yang menggerakkan kita untuk terpusat pada dan merealisasikan sesuatu. Contoh terbaik yang dapat diajukan di sini adalah tentang pribadi-pribadi unggul di bidangnya. Sebut aja Abraham Lincoln, Eisntein, Gandhi, Bunda Theresa, Abraham Maslow, Marthin Luther King, dan masih banyak yang lain. Mereka adalah pribadi dengan segudang sifat unggul: berani, cerdas, tangguh, konsisten, dan bervisi. Namun, jika mereka tak memiliki cinta terhadap kehidupan dan kemanusiaan, barangkali nama mereka tak bakal seharum sebagaimana kita kenal sekarang ini.

    Contoh berikut mungkin sedikit mampu memberi ilutrasi. Di saat karirnya sebagai seorang behavioris sedang di puncak, Maslow tiba-tiba mengambil keputusan sangat berani. Dia memilih meninggalkan behaviorisme, sebuah keputusan yang saat itu sebenarnya mengancam karir intelektualnya karena dia bisa dikucilkan oleh komunitas akademiknya. Dia berani menanggung segala resiko tersebab sebuah peristiwa, yaitu ketika anak pertamanya lahir. “Saya akan berkata bahwa siapa saja yang mempunyai seorang bayi tidak dapat menjadi seorang behavioris”, ujar Maslow. Dia begitu terpesona oleh misteri kehidupan. Maslow tak kuasa memparafrasekan pengalamannya itu secara panjang lebar karena ia kelewat intens. Namun, pengalaman itu menyisakan keyakinan yang mendalam dalam batinnya, bahwa ada cinta dalam kehidupan.

    Maslow barangkali benar, bahwa cinta itu tak perlu didefinisikan secara panjang lebar. Manifestasinya dalam kehidupan nyata jauh lebih penting dibanding segala definisi yang diupayakan. Dalam konteks ini dia sedikit berbeda dengan sejawatnya, Rollo May, seorang eksistensialis yang menempatkan cinta sebagai salah satu pilar penyangga pemikiran psikologinya. May beranggapan bahwa mendefinisikan cinta tetap penting, karena hal itu dapat menjadi petunjuk bagi lelaku mencintai. Jika definisi itu dicurigai dapat mereduksi makna cinta, maka cara kita menempatkan definisi itu yang perlu diubah. Definisi itu bukanlah representasi, tetapi hanya jalan—semacam ikhtiar memahami yang tak pernah final. Dengan menyadari bahwa definisi itu bukanlah representasi, maka akan muncul kesadaran untuk selalu terbuka di hadapan pengalaman. Dengan kata lain, bahasa hanya menyediakan cara, bukan menjadi tujuan itu sendiri. Bahasa membantu kita bagaimana mencintai, sementara dengan mempraktekkannya kita akan tahu makna mencintai.

    Tulisan ini mencoba memposisikan diri di antara dua pendapat di atas, merayakan cinta sebagai sebuah pengalaman sekaligus lelaku. Sebagai pengalaman dan lelaku yang konkret, mecintai selalu mensyaratkan kehadiran yang lain, pihak yang memikat intensi kita. Untuk itu, cinta tetap membutuhkan operasionalisasi, meskipun ia tak pernah menemukan titik akhir, karena pada saat yang bersamaan ia mengafirmasi pengalaman tanpa batas. Sebagai lelaku, mecintai itu melayani, yang oleh Bunda Theresa disebut sebagai doa tertinggi: doa yang kita panjatkan untuk “yang lain”, sosok yang beda dengan diri kita, yang selalu menyeru kita untuk menyapa dan memahaminya, serta mengajak kita untuk berpartisipasi.

    Mencintai menyadarakan kita tentang momen partisipasi, dimana kehadiran yang lain kita afirmasi sebagai subjek. Mencintai itu aktif sekaligus pasif: aktif memberi tanpa mengharap kembali, dan pasif menerima yang lain menyibakkan diri. Momen eksistensial ini hanya akan terwujud jika kita mengupayakan model kesubjekan yang menghargai “kelainan”. Artinya, yang lain harus kita tempatkan sebagai “engkau”, yang hadir sebagai subjek dengan segala kemerdekaannya, bukan sebagai “dia” yang asing dan cenderung kita lihat sebagai objek. Momen ini yang oleh Gabriel Marcel disebut sebagai momen “kekitaan”, momen eksistensial di mana “aku” dan “engkau” tumbuh bersama menjadi “kita”.

    Untuk menjamin agar momen partisipasi tetap terbina, “aku” harus menghayati “engkau” sebagai yang misterius namun tidak asing. Engkau dekat sekaligus jauh. Engkau mampu kuhayati namun mustahil kudefinisikan. Melalui hubungan aku-engkau, lahirlah momen untuk kehadiran bersama (co-present). Momen ini tidak dapat kita pikirkan secara objektif, misalnya mengaitkannya dengan kategori ruang dan waktu. Artinya, hadir tidak dapat diartikan sebagai ada-bersama-dengan di suatu tempat tertentu pada waktu yang sama. Dua orang baru hadir bila mereka mengarahkan diri yang satu kepada yang lain dengan cara yang sama sekali berbeda dari cara mereka menghadapi objek-objek. Kehadiran hanya dapat diwujudkan jika “aku” berjumpa dengan “engkau”, bertumbuh bersama menjadi “kita”.

    Tindakan partisipasi itu selanjutnya melahirkan harapan, harapan pada yang lain. Setiap bentuk partisipasi dengan orang lain mensiratkan adanya sebuah harapan untuk mengatasi setiap perasaan terasing dan putus asa. Tetapi harapan itu tidak semata-mata kita sandarkan pada kemampuan kita sendiri. Sebaliknya, dalam harapan itu, kita seolah-olah telah menaruh kepercayaan tertentu pada subjek lain yang mengatasi kita. Bertolak dari pengalaman konkret itu, harapan sejati akan muncul dari keberhasilan seseorang dalam mengalahkan ego-nya, sehingga perasaan putus asa yang bersarang di ego dapat dilampaui.

    Harapan yang lahir dari cinta dan momen partisipasi adalah harapan yang melampaui keinginan. Mencintai yang masih diliputi keinginan untuk memiliki dan menguasai yang lain tentu tak bakal berbuah harapan, karena hal itu akan melahirkan ketakutan ketika yang lain pergi. Orang yang berharap selalu sadar bahwa waktu selalu terbuka bagi dirinya. Berharap sama artinya mengafirmasi hidup dengan segala kemungkinannya, sehingga padanan kata yang paling tepat untuknya adalah kesiagaan, bukan keinginan.

    Cinta yang dibangun di atas prinsip partisipasi dan harapan akan melahirkan pribadi-pribadi matang, yang oleh Marcel disebut sebagai pribadi dengan taraf eksistensi Ada. Hal ini untuk membedakan dengan pribadi yang masih berada dalam taraf eksistensi primordial, pribadi dengan sikap mental tawanan, yang masih berada dalam kendali ego bagi modus eksistensinya.

    Posted by: psikotikafif | January 24, 2009

    Filsafat Organisme dan Kearifan Ekologis

    alamAfthonul Afif, penekun Filsafat, tinggal di Yogyakarta.

    Setiap kali musim penghujan tiba, maka hampir bisa dipastikan bencana alam pun melanda. Banjir dan tanah longsor di beberapa daerah menjadi penanda bagi datangnya musim penghujan tahun ini.

    Saya sepenuhnya tidak yakin bencana yang telah menjadi rutinitas tahunan itu semata-mata fenomena alam tanpa campur tangan manusia. Saya memastikan bahwa ada yang salah dengan sikap mental kita dalam berinteraksi dengan alam sekitar. Kita harus berani jujur bahwa kita tak lagi memiliki kesadaran ekologis. Atas nama ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi, kita dengan jumawa menempatkan alam sebagai entitas yang bisa ditundukkan dan penyuplai sumber daya yang seolah-olah tanpa batas.

    Sayangnya, mempersoalkan sikap mental yang eksploitatif itu acapkali dianggap sebagai tindakan yang sia-sia di negeri ini. Padahal, tanpa berusaha mencari tahu sebab mendasar di balik sikap mental itu—pemecahan masalah terkait dengan pemulihan kerusakan ekologis dan penanganan dampak bencana alam—tidak mungkin berdampak komprehensif. Dalam konteks ini, menghadirkan gagasan filosofis terkait dengan bagaimana kita harus berinteraksi dengan alam, saya pikir tetap relevan untuk disuarkan. Dampaknya mungkin tidak bersifat praktis-fungsional, namun saya pikir tetap penting bagi upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran bersama betapa urgen dan mendesaknya agenda-agenda penyelamatan ekologi kita agar kelestariannya tidak semakin terancam.

    Filsafat organisme

    Filsafat organisme barangkali dapat disebut sebagai satu-satunya sistem pengetahuan yang paling radikal mengritik paradigma sains modern yang materialistis-reduksionistik. Meskipun sistem berpikir ini lahir di awal abad yang lalu, namun saya pikir tetap relevan untuk dibahas dalam kondisi dunia yang mengkhawatirkan seperti saat ini. Filsafat yang dirintis oleh Alfred North Whitehead ini mencoba melakukan revitalisasi terhadap tradisi ontologi yang dianggap mengalami kebangkrutan seiring semakin dominannya paradigma keilmuan modern yang semata bertumpu pada ontologi materialisme.

    Whitehead meyakini bahwa materialisme ilmiahlah yang telah menjadi cikal-bakal lahirnya dominasi manusia atas alam semesta. Watak eksploitatifnya bersifat imanen dalam dirinya, karena melihat dunia hanya sebagai gugusan materi yang statis, sehingga dapat dikalkulasi secara eksak. Sebagai reaksi dan tawaran alternatif terhadap materialisme ilmiah yang menghegemoni pikiran dan sains modern ini, Whitehead mencanangkan sebuah aliran filsafat yang ia sebut sebagai “Filsafat Organisme”. Filsafat organisme mengedepankan keutuhan, integrasi, diantara jejaring-jejaring realitas dalam bingkai pemikiran sistemik. Dalam Process and Reality (1978), dia mengatakan bahwa tujuan dari filsafat organisme adalah mencanangkan kosmologi baru yang berbasis pada sistem, di mana unsur-unsur pembentuk sistem tersebut bersinergi menciptakan keteraturan yang padu. Artinya, ada kesalingterkaitan antara unsur-unsur tersebut menciptakan entitas utuh yang tidak hanya sekedar penjumlahan dari unsur-unsur pembentuknya (the whole is not equivalent to the sum of its parts).

    Setiap entitas di dunia ini—Whitehead menyebutnya sebagai satuan aktual—memiliki nilai-nilai intrinsiknya sendiri-sendiri, tak terkecuali manusia. Bila manusia hanyalah bagian kecil dari benda-benda dunia, maka tidak otentik lagi mengatakan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta (antropsentrisme). Manusia hanyalah satuan aktual diantara satuan-satuan aktual lainnya. Dunia, dalam konteks ini, adalah rajutan dari satuan-satuan aktual itu, di mana ia eksis karena dalam dirinya mengandung spirit—yang oleh Whitehead disebut sebagai solidaritas (solidarity). Artinya, meskipun setiap satuan aktual dalam dirinya sendiri merupakan suatu proses penciptaan (self-creation), namun proses itu bukan merupakan aktivitas yang terpisah dari yang lain.

    Pengandaian ontologis tersebut selanjutnya melahirkan pengandaian moral tertentu. Karena manusia hanyalah salah satu penyangga tegaknya dunia, maka dalam dirinya selalu terkandung kesasadaran purba, kesadaran pra-eksistensi, tentang rasa kesatuan dengan satuan aktual lainnya. Dengan demikian, unsur paling awal dan utama yang membentuk kesadaran moral manusia adalah simpati, yang oleh Whitehead dimaknai sebagai perasaan yang sama dengan yang lain. Hal ini dimaksudkan untuk menyingkirkan kecenderungan kesadaran kita untuk melihat diri kita sebagai yang terpotong dari dunia.

    Diri ekologis

    Refleksi mendalam atas posisi manusia sebagai sub-entitas dari keagungan alam semesta diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk kemudian menunda terlebih dahulu setiap klaim atas sentralitas posisi manusia sebagai penentu perkembangan alam semesta. Whitehead menyebut tahapan kesadaran manusia ketika mampu melampaui kekerdilan persepsinya atas semesta, dan kemudian mampu menemukan cara pandang yang utuh dengan seluruh realitas ekologisnya sebagai “diri ekologis”. Diri ekologis adalah “diri” yang mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan dan menciptakan keselarasan hubungan dengan satuan-satuan aktual lainnya.

    Jika dicermati lebih jauh, pemikiran ekologi Whitehead juga merupakan bentuk kritik ganda terhadap tradisi Barat, yaitu terhadap pandangan materialisme ilmiah dan konsep kosmologi agama-agama semit yang berwatak antroposentris, terutama Yahudi. Letak kritik Whitehead pada konsep ekologi Yahudi berdasar pada anggapan bahwa alam semesta ini dihadiahkan Tuhan kepada bangsa Yahudi untuk ditahlukkan dan dimanfaatkan secara penuh. Manusia bebas berkehendak dalam memperlakukan alam semesta. Pandangan dunia seperti inilah yang menjadi cikal-bakal eksploitasi manusia terhadap alam semesta. Manusia tidak merasa bersalah karena telah mendapatkan legitimasi teologis.

    Meskipun banyak kritik dialamatkan pada pemikirannya yang spekulatif itu, terutama dari para filsuf penganut materialisme, namun tidak bisa diingkari bahwa Whitehead adalah filsuf Barat paling penting yang berkontribusi bagi eksisinya gagasan holistik dalam melihat dunia. Banyak pemikir Barat sesudahnya yang terpengaruh oleh cara berfilsafatnya, sebut saja Arne Naess (penggagas paradigma ekologi-dalam), Fritjof Capra (fisikawan yang mempopulerkan paradigma holistik dalam sains modern), dan David Ray Griffin (penggagas teologi holistik).

    Terlepas dari segala kritik yang dialamatkan kepadanya, pemikiran Whitehead telah memberikan sumbangan besar dan warna lain dalam pemikiran filosofis—atau semacam kunci untuk membuka gembok penjara filsafat Barat yang notabene berwatak materialistik-positivistik.

    Posted by: psikotikafif | December 30, 2008

    Jalan Terjal Meretas Perdamaian di Bumi Borneo

    Ruang Baca, Koran Tempo, Edisi 30 Desember 2008

    U L A S A N


    Judul: Konflik Kalbar dan Kalteng – Jalan Panjang Meretas Perdamaian

    Penulis: Asvi Warman Adam dkk.

    Penerbit: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar

    Edisi: I, September 2008

    Tebal: xii+310 hlm.

    Sebagian peneliti dan pengamat menduga bahwa meletusnya beberapa konflik komunal di Indonesia pasca-runtuhnya pemerintahan Orde Baru disebabkan oleh transisi demokrasi yang kelewat masif. Transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang tidak diimbangi infrastruktur demokrasi yang kuat membuat semangat memperjuangkan hak cenderung diekspresikan melalui cara-cara yang konfrontatif.

    Pendapat tersebut tentu memiliki derajat kesahihannya tersendiri, namun tidak cukup problematis. Artinya, hipotesis yang diajukan hanya mampu menjelaskan konteks yang lebih umum, atau belum mampu menjelaskan dinamikanya pada tataran empirik. Efek berbahaya jika pendapat ini diterima adalah muncul sikap apatis untuk meredakan konflik, karena konflik sudah dianggap sebagai syarat atau tumbal bahwa setiap transisi demokrasi selalu disertai keadaan chaos.

    Dengan memilih dua lokasi sebagai sampel, yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, para penulis buku ini berusaha menelisik sebab-musabab konflik sosial yang terjadi di kawasan ini. Buku ini juga semacam peringatan bahwa hipotesis yang salah dalam melihat konflik sosial akan berujung pada temuan yang tidak komprehensif, yang tentu juga berakibat pada pembuatan desain resolusi konflik yang tidak tepat.

    Menurut kacamata para penulisnya, konflik di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat nyaris tidak berhubungan dengan situasi chaos di akhir pemerintahan Orde Baru. Kalaupun konflik itu akhirnya meletus pada saat yang bersamaan, hal ini hanya persoalan momentum. Tapi yang jelas penyebabnya sudah bercokol jauh-jauh hari, bahkan sebelum pemerintahan Orde Baru berkuasa. Penyebabnya kelewat kompleks, merentang dari persoalan-persoalan kultural hingga struktural. Dari dua ranah ini, para penulis berusaha memahami akar-akar konflik yang terjadi di bumi Borneo.

    Menurut catatan sejarah, kedatangan orang Madura ke bumi Kalimantan sudah berlangsung sejak abad ke-18, sebagai bagian dari pasukan Mataram yang dikirim untuk membantu Kerajaan Sambas memerangi Kerajaan Riau. Selanjutnya, pada permulaan abad ke-20 orang-orang Madura juga banyak yang bermigrasi ke Kalimantan dengan motif ingin meperbaiki kehidupan ekonomi mereka. Hal ini terus berlanjut hingga pemerintah Orde Baru mencanangkan program transmigrasi.

    Benih-benih konflik mulai muncul ketika orang-orang Madura dinilai oleh penduduk lokal, yaitu etnis Melayu dan Dayak, sebagai pendatang yang tidak bisa menghargai hak-hak penduduk lokal. Orang-orang Madura tetap teguh memegang tradisi dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang secara normatif berbeda dengan apa yang diyakini oleh orang Melayu dan Dayak. Satu contoh yang paling urgen adalah mereka menganggap bahwa bumi tempat mereka berpijak adalah milik Tohan, sehingga dengan sendirinya mereka juga punya hak untuk memilikinya. Dengan logika yang aneh, orang-orang Madura secara bertahap menguasai sawah, kebun, rumah dan pekarangan, padi di sawah, buah-buahan di kebun, hewan-hewan piaraan, milik orang-orang Melayu dan Dayak.

    Selain itu, mereka juga dianggap kelompok yang tidak taat hukum (karena ada otoritas-otoritas tertentu yang dianggap lebih layak dipatuhi, seperti kiai, guru, dan orang tua) dan suka kekerasan, senantiasi membawa clurit ketika bepergian. Di tambah lagi struktur pemukiman orang-orang Madura yang cenderung terisolasi. Mereka hidup dalam komunitas mereka sendiri, yang menyebabkan komunikasi dengan penduduk lokal tidak berjalan dengan baik.

    Faktor-faktor struktural juga disinyalir turut menambah buruknya hubungan antara penduduk lokal dan kaum pendatang. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait komersialisasi hutan, tidak ditegakkannya hukum oleh aparat keamanan, pemerintah yang cenderung abai dengan potensi konflik akibat keragaman etnis, dan resesi ekonomi, merupakan persoalan-persoalan struktural yang membuat kehidupan etnis Dayak semakin terjepit. Dalam suasana yang kurang menguntungkan semacam ini, secara psikologis mereka cenderung mencari kambing hitam. Karena etnis Madura dianggap sebagai kelompok pendatang yang paling rakus, maka biang kerok kesusahan hidup orang-orang Dayak dialamatkan kepada mereka.

    Puluhan tahun orang-orang Melayu dan Dayak menahan amarah. Namun, mereka akhirnya meradang juga ketika melihat tingkah laku orang-orang Madura yang kian sewenang-wenang. Merasa diperlakukan tidak adil, keduanya kemudian bahu-membahu untuk melawan orang-orang Madura. Puncak dari kebencian itu, meletuslah kerusuhan Sambas di Kalimantan Barat dan Sampit di Kalimantan Timur.

    Kekacauan politik nasional yang diikuti dengan semakin meluruhnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, menjadi momen yang tepat bagi orang-orang Melayu dan Dayak untuk membalas dendam. Pada Februari 1999, kerusuhan Sambas meletus. Etnis Melayu dan Dayak secara brutal membantai hampir setiap orang Madura yang dijumpainya. Catatan resmi menyebutkan korban meninggal sekitar 200 orang. Konflik ini terus berlanjut, sebab setahun kemudian, tepatnya pada 25 Oktober 2000, massa dalam jumlah besar mengepung GOR Pontianak, tempat pengungsian orang-orang Madura.

    Setahun kemudian, tepatnya Februari 2001, kerusuhan merembet ke Kalimantan Tengah, berawal dari Kota Sampit. Ribuan orang Dayak bersenjatakan panah dan tombak memburu etnis Madura. Tindak pembunuhan dan pengrusakan berlangsung hampir di semua perkampungan orang Madura. Dari kota Sampit, kerusuhan meluas ke kota-kota di sekitarnya, seperti Kuala Kapuas, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya. Kurang dari dua pekan, orang Dayak telah membunuh lebih dari 400 orang Madura dan 80.000 sisanya dipaksa keluar dari bumi Kalimantan, menyongsong hari-hari gelap di tanah kelahirannya.

    Dampak dari konflik tersebut sungguh luar biasa. Ribuan korban jiwa melayang, kerugian materi yang sangat besar, gelombang pengungsi yang massif, dan yang tak kalah seriusnya adalah trauma psikologis yang diderita korban. Dampak-dampak buruk ini masih dirasakan hingga sekarang, meskipun konflik sudah berlalu lebih dari tujuh tahun. Hasil penelitian dalam buku ini menunjukkan bahwa kondisi pasca-konflik masih menyisakan persoalan-persoalan penting yang tak kunjung terselesaikan, seperti relokasi pengungsi yang tak terorganisir, bantuan kemanusiaan yang asal-asalan, lambatnya pembangunan kembali infrastruktur, dan buruknya rehabilitasi psikologis bagi para korban.

    Selain menyajikan fakta-fakta terkait dengan akar-akar konflik dan dampak buruk yang menyertainya, penelitian ini juga menawarkan model resolusi konflik yang tepat agar perdamaian lekas terwujud. Dari analisis terhadap fakta-fakta di lapangan, para peneliti juga menyodorkan tahapan-tahapan resolusi konflik yang sistematis. Tahap pertama, yaitu de-eskalasi konflik (conflict de-escalation), sebuah upaya untuk menciptakan kesadaran bahwa konflik selalu berujung pada kerugian. Untuk menciptakannya, diperlukan kehadiran pihak-pihak independen yang sanggup menjembatani kedua belah pihak yang bertikai. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah pemerintah. Namun, sampai saat ini pemerintah terkesan kurang serius menciptakan suasana seperti ini.

    Tahap kedua, negosiasi politik (political negotiation). Tujuannya adalah memaksa kedua belah pihak untuk berunding dalam forum yang setara. Tahap ketiga, pemecahan masalah (problem solving), yaitu upaya menciptakan suasana kondusif bagi kedua belah pihak untuk melakukan transformasi konflik menuju arah resolusi konflik. Dan tahap yang terakhir adalah penciptaan dan penjagaan suasana damai (peace building), yaitu tahap transisi dari rekonsiliasi menuju konsololidasi. Tahap ini biasanya yang paling sulit ditempuh –selain membutuhkan waktu yang sangat lama.

    Idealnya, tahap ini dirancang untuk menciptakan perdamaian yang permanen. Caranya antara lain adalah membentuk lembaga-lembaga baru yang merepresentasikan kedua belah pihak untuk menjaga dan mematuhi setiap rekomendasi damai dari tahap sebelumnya. Dalam konteks tertertu, tahap ini bisa disertai dengan hukuman bagi pihak yang melanggar perjanjian, tentu jenis dan kualitas hukumannya disepakati secara bersama. Namun, proses ini sulit terwujud jika tidak ada pihak independen yang mensupervisinya. Pihak yang dianggap paling mampu dan bertanggung jawab dalam proses ini adalah pemerintah.

    Pertanyaannya kemudian adalah, sudahkah tahap-tahap resolusi konflik tersebut dilaksanakan dan berjalan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah? Menurut analisis para penulis buku ini, jawabannya condong ke belum, karena pemerintah terkesan setengah hati untuk terlibat, bahkan cenderung membiarkan. Kalaupun tensi konflik sudah menurun, hal itu lebih disebabkan oleh kelelahan psikologis dari pihak-pihak yang berkonflik. Suasana aman ini sifatnya sesaat, dan konflik sewaktu-waktu bisa meletus kembali ketika pemicunya cukup kuat.

    Sampai saat ini belum ada lembaga atau regulasi yang secara sistematis mampu menciptakan iklim perdamaian. Ironisnya, LSM-LSM yang lahir pasca-konflik justru terkesan melanggengkan konflik. Sebagian dari LSM-LSM itu justru didukung didukung oleh elite-elite lokal setempat.

    Jalan damai menuju perdamian di bumi Borneo ternyata masih sangat terjal, kalau tidak bisa disebut mustahil. Temuan yang sangat berharga dari tim peneliti P2P-LIPI (Pusat Penelitian Politik-LIPI) dalam buku ini seakan-akan tak lebih seperti angin lalu, karena rekomendasi yang disampaikannya ternyata belum bisa membuat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah setempat tergerak untuk mencari cara-cara yang tepat untuk mewujudkan perdamaian di bumi Borneo.

    Afthonul Afif, peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta

    Posted by: psikotikafif | December 27, 2008

    Globalisasi Kebudayaan: Rasa Kesatuan Dalam Identitas “Hybrid”

    globalisasiKompas, Sabtu, 27 Desember 2008

    Globalisasi kebudayaan akhir-akhir ini menunjukkan dua wajah yang berbeda. Ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Di sisi lain, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini.

    Kecenderungan yang kedua tersebut membuat kebudayaan kita akhir-akhir ini menjadi semacam medan kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan yang berbeda-beda untuk mengekspresikan diri. Indonesia-dalam konteks ini adalah contoh terbaik pascaruntuhnya kekuasaan sentralistik pemerintahan Orde Baru.

    Tidak adanya lagi pusat kekuasaan yang sanggup mengikat kemajemukan dalam satu wadah memberikan peluang kepada setiap identitas kebudayaan untuk unjuk diri—memastikan bahwa dirinya sanggup menentukan nasibnya tanpa campur tangan kekuatan eksternal.

    Kondisi ini mengingatkan kita kepada teori Benedict Anderson tentang Indonesia sebagai ”komunitas yang terangankan”. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dengan banyak bangsa. Artinya, imajinasi tentang kewarganegaraan, tentang nasionalisme, tidak terbangun di atas fondasi kultural yang kokoh, tetapi semata-mata berdasarkan klaim politis yang serba retak. Dengan kata lain, Indonesia adalah konsep yang mungkin terlampau ambisius—sebuah konsep yang diangankan mampu merangkum kemajemukan ekspresi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke dalam satu momen aktivitas berpikir.

    Haus keseragaman

    Akhir-akhir ini istilah rekaan Adolf Bastian, seorang etnolog Jerman, itu mulai digugat secara terang-terangan. Cara sebagian rakyat Papua merayakan hari jadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) awal Desember 2008 lalu adalah contohnya. Secara terang-terangan, mereka menyatakan dirinya bukan sebagai orang Indonesia. Sikap politik ini didasarkan atas identifikasi bahwa secara biologis mereka adalah bangsa Papua, tergabung dalam rumpun Melanesia, ras Negroid, bukan seperti kebanyakan orang Indonesia yang berasal dari rumpun Melayu.

    Munculnya sikap politik seperti itu tentu tidak dapat dipisahkan dari politik kebudayaan penguasa Orde Baru yang haus akan keseragaman. Cara membangun identitas kolektif-kebangsaan tidak didasarkan atas komunikasi mutual yang mengafirmasi kemajemukan, tetapi melalui suatu proses eksklusi yang represif.

    Kemajemukan ekspresi kebudayaan, yang dihayati oleh lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air dan diekspresikan melalui lebih dari 512 bahasa, tidak ditempatkan sebagai modal sosial, melainkan dicurigai sebagai bibit-bibit perpecahan.

    Hidup dalam iklim multikultural seperti sekarang ini, tertib sosial akan dapat terwujud jika setiap elemen masyarakat mampu bersikap toleran serta bersedia membuka diri bagi terciptanya kerja sama-kerja sama yang bersifat mutual.

    Dekategorisasi identitas (eksklusi identitas budaya asal) secara berlebihan yang dilakukan Pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun sepertinya sudah cukup membuat kita sadar bahwa persatuan yang dibangun dengan jalan paksaan hanya akan berujung pada konflik sosial.

    Tanpa bermaksud menyederhanakan rumitnya persoalan hubungan antaretnik di Indonesia—karena makna etnisitas sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia, tetapi juga terkait dengan sumber-sumber identitas lain, seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik—tulisan ini berusaha menawarkan model hubungan yang lebih setara dan mutual.

    Satu isu penting yang segera mengemuka ketika membicarakan persoalan ini adalah bagaimana seharusnya antara satu kelompok dan kelompok lainnya saling memandang?

    Persilangan Identitas

    Tidak adanya kekuatan dominan yang berhak mengatur pergaulan antarbudaya, dalam hal ini kekuatan negara yang represif, merupakan peluang tersendiri jika disikapi secara tepat. Meminjam istilah François Lyotard, Indonesia saat ini relatif terbebas dari bercokolnya ”narasi besar” yang berwatak totaliter.

    Vakumnya konsep, ide, gagasan, yang berambisi atas tafsir dunia memberi peluang bagi tampilnya ”narasi-narasi kecil” yang heterogen dan plural. Pluralisme kebudayaan ini idealnya dapat disikapi sebagai medan pertukaran simbolik yang produktif dan komplementer.

    Pada ranah praktis, tidak adanya kekuatan dominan juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori-kategori identitas ketika setiap pihak ditemukan dalam kepentingan yang sama. Dalam kondisi seperti ini, ingroup favoritism dan outgroup derogation akan berkurang.

    Identitas sosial menjadi lebih mudah ditembus sehingga memungkinkan terciptanya identitas hybrid. Identitas hybrid merupakan identitas baru yang terbentuk dari persilangan kategori-kategori sosial yang didasari atas kesadaran untuk mencari simpul kerja sama yang mutual dalam ruang publik. Ketika individu menyandang banyak identitas, berarti dia memiliki dimensi sosial-psikologis yang banyak pula.

    Mengapa persilangan kategori berpotensi dapat meningkatkan rasa kesatuan dalam wadah identitas sosial yang baru? Pertama, persilangan kategori memungkinkan individu berafiliasi dengan beberapa kelompok sehingga dapat mereduksi loyalitas kepada satu kelompok saja. Identifikasi ganda ini juga akan melahirkan loyalitas ganda.

    Kedua, persilangan kategori melahirkan kesadaran bahwa anggota outgroup juga bisa menjadi fellow sehingga sikap-sikap negatif terhadap outgroup akan berkurang.

    Ketiga, persilangan kategori memungkinkan interaksi antarindividu dari kelompok yang berbeda menjadi semakin intensif sehingga mobilitas lintas batas kelompok juga akan meningkat (Brown, R & Gaertner, S (eds), Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes, 2003: 69-70)

    Berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya, keragaman budaya seharusnya bisa menjadi modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi. Jika dicermati secara serius, tentu banyak sekali titik singgung di antara keragaman ekspresi kebudayaan di Indonesia jika kategori-kategori sosial yang dimilikinya dipersilangkan satu dengan yang lain.

    Titik singgung tersebut merupakan modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.

    Cara merumuskan persatuan memang sepatutnya diawali dari mencari persamaan atas kategori-kategori tersebut, bukan malah membuat formulasi baru yang justru meluruhkannya, sebagaimana pernah dilakukan pemerintahan terdahulu.

    Afthonul Afif Peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta

    Older Posts »

    Categories