Posted by: psikotikafif | June 29, 2009

Yang Terbungkam di Balik Konflik Poso

Ruang Baca Edisi 26 Juni 2009

U L A S A N


Judul: Konflik Poso: Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan

Penulis: Lian Gogali

Cetakan: I, 2009

Tebal: 208 hlm.

Penerbit: Galang Press, Yogyakarta


Banyak kalangan menganggap konflik Poso sebagai konflik horizontal antaragama. Benarkah demikian? Jika ditelusuri lebih jauh, konflik itu tidaklah sesederhana anggapan ini, karena secara faktual ia melibatkan persaingan antaretnik, baik lokal maupun pendatang, ditambah lagi dengan kepentingan politik sipil maupun militer, juga masuknya kekuatan luar seperti laskar jihad maupun satuansatuan TNI dan Polri yang bertugas saat konflik terjadi.

Secara historis, konflik Poso lebih dipicu oleh kesenjangan politik pemerintahan dan sosial ekonomi. Beralihnya tampuk kekuasaan di kawasan Poso dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia melahirkan konsekuensi nyata, yaitu bergesernya kepemimpinan politik dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang (Jawa, Bali, Makasar, dan Bugis). Bergesernya penguasaan atas sumber daya politik ke tangan etnis pendatang dapat dilihat dari proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat, yang banyak ditentukan oleh etnis pendatang.

Bergesernya kekuasaan politik juga berimplikasi pada kegiatan ekonomi di Poso, dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) yang banyak dihuni etnis pendatang. Ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan selalu diiringi dengan bergesernya pusatpusat perekonomian dan perdagangan yang mengikuti pusatpusat pemerintahan itu. Dengan demikian, telah terjadi akumulasi kegiatan politik dan ekonomi di pusat pemerintahan baru, di mana mayoritas pendatang yang muslim menjadi pihak yang dominan.

Kesenjangan kehidupan politik dan ekonomi yang berkepanjangan itulah yang oleh Gerry van Kliken, peneliti dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Belanda dianggap sebagai pemicu konflik Poso. Pendapat Kliken ini hendak meluruskan pemahaman yang selama ini keliru, bahwa sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa konflik Poso dipicu oleh perkelahian dua kelompok pemuda yang beda agama. Konflik dua kelompok pemuda itu menjadi indikasi bahwa potensi konflik sebenarnya sudah tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Poso. Insiden seharihari yang semestinya bisa diselesaikan secara damai itu kemudian berujung pada munculnya konflik antarkelompok yang berlangsung masif.

Konflik Poso meletus sejak 1998 dan dinyatakan reda pada 2003. Konflik ini telah menewaskan ratusan orang dan menyebabkan lebih dari 5.000 rumah hangus. Sekarang, konflik Poso barangkali sudah dianggap selesai. Namun, sebagai sebuah tragedi kemanusiaan, konflik ini belum bisa dikatakan sepenuhnya tuntas.

Sejak konflik meletus, kehidupan masyarakat Poso berubah drastis. Masyarakat Poso, dari berbagai lapisan sosial, jenis kelamin, dan jenjang usia terseret masuk ke dalam pusaran konflik berdarah yang memilukan. Hampir semua penduduk Poso dipaksa terlibat konflik, dari yang sekadar bertahan hingga menyerang dengan alasan mempertahankan diri. Belum lagi mereka harus menanggung ketidakpastian hidup pascakonflik akibat luluhlantaknya saranasarana vital penyangga kehidupan.

Jika kita semua bersedia jujur dan melihat kondisi sebenarnya pascakonflik, tidak ada pihak yang paling dirugikan dari konflik ini melebihi kerugian yang ditanggung oleh kaum perempuan dan anakanak. Sayangnya, tulisantulisan yang dihasilkan untuk menjelaskan konflik ini masih sangat sedikit yang berpihak kepada kepentingan dua kelompok itu. Hampir semua narasi tulisan milik kaum “lakilaki” dewasa. Sedikit sekali ruang artikulasi bagi perempuan dan anakanak.

Sistem sosial dan budaya telah menyingkirkan mereka untuk ikut bersuara. Keterbatasan mereka terhadap penguasaan atas saranasarana vital kehidupan membuat mereka terkondisikan untuk menggantungkan hidup pada pihak lain. Dalam kondisi serba tak menentu, tak sedikit perempuan Poso merelakan diri untuk menjalin hubungan gelap dengan para prajurit TNI dengan harapan kelak dapat dinikahi untuk mendapatkan nasib yang lebih baik. Jadi, tidak mengherankan ketika di Poso saat ini kita menjumpai banyak perempuan muda yang memiliki anak di luar ikatan perkawinan lantaran sosok lakilaki yang dipercaya dapat mengubah nasib mereka telah ingkar janji.

Yang tak kalah mengenaskannya adalah kondisi anakanak Poso korban konflik yang harus menanggung penderitaan di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya, karena banyak orang tua yang seharusnya melindungi mereka telah meninggal menjadi korban konflik yang memilukan itu. Masamasa indah untuk bermain dengan teman sebaya dan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak juga terampas.

Belum lagi minimnya pusatpusat rehabilitasi untuk trauma psikologis yang keberadaannya sangat dibutuhkan anakanak korban konflik. Penangananpenanganan psikologis yang sekarang ini dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat maupun lembagalembaga pemerintah belum banyak memecahkan persoalan, karena memang kehadirannya dapat dikatakan terlambat. Peristiwaperistiwa kekerasan saat konflik berlangsung sudah telanjur menawan kesadaran anakanak Poso, menyesaki memori mereka, sehingga dorongan untuk membayangkan hari depan yang lebih baik nyaris tidak ada lagi.

Dengan demikian, membicarakan kekerasan dalam sudut pandang perempuan dan anakanak korban konflik merupakan upaya untuk menyingkap narasi kesenyapan yang mereka alami. Dengan menggunakan kerangka berpikir fenomenologi untuk melihat nasib pihak “yang dilainkan”, buku ini berupaya mengalirkan semangat itu, menyuarakan kembali suarasuara lirih para korban, sehingga kejadiankejadian seharihari yang paling memilukan itu dapat diketahui oleh publik.

Penulis menelusuri aspek tragis konflik Poso lewat ingataningatan dan kisahkisah yang ada dalam kelompok perempuan dan anakanak. Dalam catatan pengantarnya, St. Sunardi mengatakan bahwa ingataningatan dan kisahkisah itu bisa disebut tragis karena dua alasan. Pertama, berbagai ingatan dan kisah lahir dari peristiwaperistiwa yang tidak bisa dibayangkan kembali. Kekerasan berupa pelecehan seksual yang dilakukan oleh aparat keamanan dan perjuangan hidup selama pelarian di hutan, misalnya, berada di luar kemampuan korban untuk menanggungnya. Kedua, pengalaman itu telah membekas dalam ingatan dan selalu muncul kembali sampai sekarang. Dalam sebuah sesi pendampingan yang dilakukan penulis, banyak anakanak Poso masih menunjukkan ekspresi trauma yang mendalam. Hal ini terlihat pada gambargambar yang dibuat oleh anakanak Poso, yang memunculkan tematema seputar kekerasan, seperti rumah terbakar, pembunuhan, senjata, dan sebagainya. Dengan demikian, penderitaan yang dialami para korban tidak berhenti saat berbagai pihak tidak lagi terlibat dalam konflik terbuka (hlm. 910).

Kehadiran buku ini diharapkan dapat membantu semua pihak yang terlibat dalam pemulihan masyarakat pascakonflik. Hal ini terlihat pada fokus penulisnya yang berbasis pada kepentingan korban, sebuah perspektif yang berusaha memecah dominasi kebijakan program pemulihan masyarakat pascakonflik yang berbasis pada pendekatan politis dan fisik semata.

Lebih dari sekedar pemetaan tentang wacana konflik, fokus utama buku ini adalah menyajikan pengalaman dan harapan korban, perempuan dan anakanak, dalam bentuk narasinarasi lirih hasil konstruksi para korban. Narasi perempuan korban konflik yang dipaparkan dalam buku ini memuat pengalamanpengalaman personal perempuan yang merangkum tematema seputar pelecehan seksual, menjadi orang tua tunggal dari anak hasil kumpul kebo dengan aparat keamanan, hingga menjadi kepala rumah tangga karena suami terbunuh saat konflik. Sama serius dan pentingnya, pada kasus anakanak korban konflik yang kehilangan haknya atas pendidikan, makanan bergizi, dan kesempatan bermain. Ini adalah pengalaman eksistensial manusia, yang masih dianggap sebagai tempelan saja dalam kebijakankebijakan pemulihan berbasis politik.

Secara garis besar, buku hasil penulisan ulang tesis penulisnya ini berusaha mengusung tiga misi utama guna mendobrak wacana dominan milik kaum lakilaki dan pihak pemenang. Pertama, menempatkan perempuan sebagai pelaku, aktor dari konflik Poso dengan angkat senjata, menjadi kepala keluarga, hingga menjadi mediator rekonsiliasi sehingga mereka bukan sekedar pecundang. Kedua, mendobrak historiografi para pemenang yang mengabaikan peran perasaan, dan peran para korban. Dan ketiga, mendobrak penggambaran sejarah konflik Poso dengan mengangkat wacana tertindas dari perempuan dan anakanak.

Afthonul Afif, peneliti di Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu


Leave a comment

Categories